(Moderatisme Islam) Mendayung diantara Dua Ombak

Oleh:
Syafaat Mohamad


Jauh hari sebelum Risalah Bogor (2018) hasil Konsultasi Tingkat Tinggi Tokoh Ulama dan Cendekiawan Muslim Dunia mengampanyekan gagasan wasatiyyat (moderasi) Islam, yang menegaskan jalan tengah diantara dua titik ekstrimitas (al-ghuluw wa al-taqsir) dalam konteks keislaman, konon sejak awal perdebatan berdirinya republik ini posisi moderasi turut pula dilakoni oleh para pendiri negeri. Sungguhpun jika ada perbedaan diantara keduanya terletak pada konteks yang dihadapi, yang pertama yaitu tentang pilihan tengah agar tidak terjebak pada ekstrim radikal yang menghamba pada nash di satu sisi dan pada kutub yang cenderung memutlakkan maqashid di sisi yang lain, sedangkan konteks yang apa yang dihadapi pendiri bangsa adalah bagaimana mampu menyeimbangkan antara dua identitas yang sama kuatnya, yaitu menjadi seorang muslim yang senantiasa leluasa menjalankan syariat sekaligus menjadi seorang warga Indonesia yang hidup dengan realitas kesadaran bernegara dan berbangsa.

Kampanye moderatisme sejak era kemerdekaan tidak hanya berada dalam sikap keberagamaan saja, namun melainkan dalam sikap berbangsa. Mengajekkan kedudukan yang berada di tengah-tengah ini tentu saja tak mudah. Dalam era kemerdekaan sikap keberislaman yang disimbolkan melalui ormas keagamaannya sudah cukup beragam. Tercatat sedikitnya ada sekitar 16 ormas Islam yang hadir di masa itu, mulai dari Jamiatul Khair (1905), Sarekat Dagang Islam (SDI)/Sarekat Islam (1905/1911), Muhammadiyah (1912), al-Irsyad (1914), Aisiyah (1914), Mathlaul Anwar (1916), Thawalib Sumatra (1920), Persatuan Islam (Persis, 1923), Nahdlatul Ulama (1926), Jong Islamienten Bond (1925), Jam’iyyatul Washliyah (1930), Tarbiyah Islamiyah (Perti, 1930), Nahdlatul Wathan (1932), Masyumi (1937), hingga Darul Dakwah wal Irsyad (1937). Di bilik yang lain gerakan kemerdekaan dengan platform kebangsaan digawangi pula oleh Budi Utomo (1908), Perhimpunan Indonesia (1908), Indische Partij (IP;1912), Perkumpulan Kautamaan Istri (1913), Sopa Tresna (1914), Partai Komunis Indonesia (1920), Partai Nasional Indonesia (1927), Permufakatan Perhimpunan-perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI;1927), Partai Indonesia (Partindo; 1929), Partai Indonesia Raya (1935), Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo; 1937), hingga Gabungan Politik Indonesia (GAPI; 1936).

Bak seorang pelaut yang hidup saban harinya di tengah-tengah lautan, maka memosisikan seorang muslim yang hidup di Indonesia ibarat pula menghadapi tantangan yang sama. Untuk dapat hidup seseorang harus memastikan dirinya dapat selamat. Di tengah lautan, keselamatan ditentukan dengan cara seberapa dapat ia menaklukkan tantangan, yaitu seperti menjinakkan dua ombak, yang memberikan pilihan gelombang yang bisa sama “deras”nya, atau mungkin sama “senyap”nya. Menyadari diri terlahir sebagai seorang muslim adalah realitas sekaligus fitrah. Pun sama halnya terlahir di nusantara dengan sejuta keberagaman, merupakan realitas yang tak mungkin dipungkiri. Mengingkari realitas sama saja dengan mengingkari fitrah, dan ini menjadi musykil, jika tidak ingin menyebutkannya mustahil.

Dalam Islam, perdebatan yang sekilas tampak musykil dan mustahil tersebut terekam secara verbal dalam gagasan moderasi atau biasa dikenal dengan tawasuth. Pesan moderasi (tawasuth) ini terekam dalam surah al-Baqarah ayat 143. Ayat moderasi ini coba ditafsirkan oleh Kyai Afifuddin Muhadjir, sebagai al-waqi’iyyah atau realistis (2015). Menurut ahli usul fiqh asal Situbondo ini, realistis di sini tidak diartikan sebatas taslim atau menyerah pada keadaan yang terjadi, melainkan berusaha menggapai yang ideal sembari tidak menutup mata kepada realitas.

Prinsip realistis atau al-Waqi’iyyah sebagai padanan gagasan moderatisme tersebut, oleh Kyai Afif digenapi dengan kaidah-kaidah fiqhiyyah lainnya, yaitu seperti “Ad-Dhararu Yuzalu (kemudharatan harus dihilangkan), Idza dhaqa al-amru ittasa’a, wa idza ittasa’a dhaqa (dalam kondisi sempit ada kelapangan, dan dalam kondisi lapang ada kesempitan), Dar’ul mafasid muqaddamu ala jalbil mashalih (Menolak kerusakan didahulukan daripada mendatangkan kemaslahatan) dan An-Nuzul  ila al-Waqi’ al-Adna inda ta’adzuril matsal al-a’la (turun ke realitas yang lebih rendah ketika  tak mungkin mencapai idealitas yang lebih tinggi).

Dalam konteks yang lebih klasik upaya mencapai titik temu demi menghasilkan satu kesepakatan telah diberikan amsalnya oleh Nabi Muhammad Saw yaitu pada peristiwa Hudaibiyah. Dalam hikayah tersebut Nabi Muhammad Saw bersedia menghapus kata “Basmalah” dan kata “Rasulullah”, ketika berusaha mencari titik temu permasalahan dengan delegasi kaum musyrik Makkah. Prinsip yang melekat dalam peristiwa yang kemudian dikenal dengan Sulh Hudaibiyah ini, didasari oleh sifat etis nan mulia, yaitu menghindari berprasangka buruk terhadap sesama. Sebagaimana tertera dalam Al Quran, surah al-Anfal ayat 61.

“Apabila mereka cenderung kepada perdamaian maka cenderung pulalah kepadanya dan berserah dirilah kepada Allah. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”.

Sekilas ingatan atas peristiwa yang diamsalkan Rasulullah Saw dalam Sulh Hudaibiyyah, terekam serupa dengan apa yang dilakoni oleh para wakil Islam ketika harus rela atas dihapuskannya “tujuh kata dalam Pembukaan Undang-undang Dasar Negara Tahun 1945”. Dalam catatan sejarah yang dikenal dengan kesepakatan “Piagam Jakarta” tersebut, KH. Wahid Hasyim sebagai wakil Islam memberikan pandangan moderatnya tentang “kalimatun as-sawa” bagi penyelesaian penyusunan dasar hukum negara.

Pandangan moderat KH. Wahid Hasyim salah satunya dapat dilihat dalam pernyataaannya pada Konferensi  antara Kementerian Agama dan Pengurus Besar  Organisasi Islam non Politik Asia Tenggara, 4-6 November 1951;

“Di Indonesia berlainan dari negara-negara lainnya, sebagaian besar clan rakyatnya keras sekali keinginannya akan menghidupkan syariat agamanya, walaupun mereka belum tahu dengan sempurna cara bagaimana menghidupkannya. Hal itu ternyata dengan tercantumnya Ketuhanan Yang Maha Esa/sebagai satu dasar Pancasila kita.”

“Keinginan kaum Muslim sebagai golongan terbesar dari bangsa kita akan menghidupkan syariat agamanya diberi jalan dan saluran yang baik. Tetapi dari pihak lain dipertahankan prinsip demokrasi, agar keinginan tadi tidak mendesak pada golongan lain dan merugikannya”.
[Laode Ida;1996]

Menarik dikaji bahwa keyakinan pelaksanaan syariat berdasarkan konsepnya yang substansial, KH. Wahid Hasyim dan beberapa sosok petinggi Islam-Nasionalis lainnya tidak bermodal pemikiran yang hampa. Sisi moderatisme Ayahanda dari Gus Dur di atas, secara sampel menunjukkan bagaimana dirinya memahami instumen mana yang sejatinya adalah jembatan atau alat (Pancasila), dan mana sesuatu lainnya yang merupakan tujuan (syariat). Dengan kejelian KH. Wahid Hasyim saat membedakan dua hal tersebutlah, maka kemudian penghapusan “tujuh kata” dalam pembukaan Undang-undang dasar, oleh dua kerabat wakil Islam lainnya yaitu Kasman Singodimedjo dan Ki Bagus Hadikusumo dapat diterima.

Amsal Moderatisme Ormas Islam: Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah dan Persis

1. Nahdlatul Ulama
Secara tertulis Nahdlatul Ulama melalui hasil Musyawarah Nasional (MUNAS NU) di Situbondo (1983), menyatakan bahwa Sila Ketuhanan Yang Maha Esa adalah Dasar Negara Republik Indonesia, serta Pasal 29 ayat 1 UUD 1945 menjiwai sila-sila yang lain,dan mencerminkan tauhid sebagaimana pengertian keimanan dalam Islam. Hasil Munas ini senafas dengan khazanah pemikiran politik Nahlatul ulama yang memegang prinsip Ahlusunnah wal Jamaah yang diwariskan salah satunya oleh Syekh Nawawi al-Bantani. Dalam pandangan Syekh Nawawi, daerah yang dinamai sebagai Dar al-Islam yang telah dikuasai Non Muslim tetap dipandang sebagai Dar al-Islam, apabila umat Islam masih tetap bermukim di dalamnya. Penetapan bahwa Indonesia adalah Dar al-Islam meski masih berada dalam kolonialisasi Hindia Belanda disebutkan secara organisasi pada Muktamar Nahdlatul Ulama di Banjarmasin tahun 1935.Dar al-Islamtidak akan berubah statusnya menjadi Dar al-Harb apabila umat Islam masih menetap di dalamnya dan tidak dihalangi dalam menjalankan syariat agamanya. Hanya jika penguasa non-Muslim itu menghalangi umat Islam dalam menjalankan ajaran agamanya, maka statusnya dengan demikian berubah menjadi Dar al-Harb.

Salah satu rujukan penting lainnya dari turats siyasah (tradisi politik) Islam klasik yang menjadi bahan Nahdlatul Ulama adalah pendapat Imam Al-Mawardi tentang “al-imamah maudhu’ah li khilafati an-nubuwah fi hirasati ad-din wa siyasah ad-dunya”, yang artinya kepemimpinan negara diletakkan sebagai kelanjutan tugas kenabian dalam menjaga agama dan mengatur dunia. Dalam definisi al-Mawardi tersebut politik (siyasah) dimaknai sebagai pengaturan dunia yang senafas dengan penjagaan atas agama (Saiful Arif,2018).

Dari dua konsep peran pemimpin sebagai penjaga agama dan negara, pada era yang tidak jauh  dari proklamasi kemerdekaan 1945, kemudian lahir apa yang dikenal dengan resolusi jihad 1945. Sebuah petunjuk KH. Hasyim Asya’ari ketika mengeluarkan fatwa hukum dari membela negara adalah fardhu ‘ain. Ijtihad siyasah Islam ini tidak terlepas dari konsekuensi hukum mempertahankan eksistensi Negara dari segala hal yang mengancamnya. Sikap mempertahankan martabat negara itu, semata tidak dipahami sebagai wujud nasionalisme an sich, melainkan untuk keberlangsungan kehidupan umat Islam yang mendiami negara Indonesia.

2. Muhammadiyah
Tidak jauh berbeda dari Nahdalul Ulama, dalam pandangan Muhammadiyah, konsep nasionalisme dirujuk kepada Pancasila. Dalam dasar negara, Pancasila tersebutsudah terkandung di dalamnyaciri keislaman dan keindonesiaan yang memadukan nilai-nilai ketuhanan dan kemanusiaan (humanisme religius), hubungan individu dan masyarakat, kerakyatan dan permusyawaratan, serta keadilan dan kemakmuran. Melalui proses integrasi keislaman dan kendonesiaan yang positif itu maka umat Islam Indonesia sebagai kekuatan mayoritas dapat menjadi uswah hasanahdalam membangun Negara Pancasila menuju cita-cita nasional yang sejalan dengan idealisasi Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafur. Pernyataan ini sebagaimana disepakati dalam Keputusan Muktamar Muhammadiyah ke-47di Makassar Tahun 2015.

Dengan lahirnya Dokumen Negara Pancasila sebagai Darl Al-Ahdi Wa Al-Syahadah, Muhammadiyah memandang bahwa Pancasila merupakan titik temu seluruh komponen bangsa. Secara historis titik temu ini diperoleh berkat kebesaran jiwa Kasman Singodimedjo dan Ki Bagus Hadikusumo yang rela mengubah “tujuh kata sila pertama” menjadi “Yang Maha Esa”. Muhammadiyah menekankan peran penting Pancasila dalam merawat taman sari Indonesia, menjaga keberlangsungan hidup bangsa dan negara, sebagai bentuk tempat perjanjian atau konsensus nasional, dan tempat bersaksi. (AI Mujaddid Rais;2016)

3. Persis
Dari organisasi Persatuan Islam (Persis), sisi moderatisme Islamnya lebih ditunjukkan pada pilihan jalan tengah yang diambil antara sikap Nasionalisme Chauvinistik (kebangsaan sempit) dengan Internasionalisme Komunisme yang tak bertuhan. Pendapat ini sebagaimana dirujuk kepada sosok pemikir Persis, yaitu Shabirin (sosok yang mengidolakan HOS Tjokromanito dan KH. Agus Salim). Sedangkan pada tokoh lainnya, seperti M. Natsir dan Ahmad Hassan, keduanya masing-masing melakukan penyampaian gagasan nasionalisme mereka dengan bentuk kritik yang cenderung sistematik. Pada Natsir, posisi pelaksanaan Ibadah Haji yang dilakukan oleh jamaah Indonesia merupakan sebuah investasi tak tampak yang dapat memberikan keuntungan negara di masa depan. Hal ini diungkit oleh Natsir karena di lingkungan nasionalis muncul anggapan bahwa biaya negara untuk kepentingan Haji merupakan sebuah ancaman ketimbang sebuah keuntungan invenstasi sekutu politik jangka panjang. Bagi tokoh utama Persis lainnya, yaitu Ahmad Hasan, dalam artikel khususnya Islam dan Kebangsaan menilai bahwa tidak ada larangan dalam agama untuk mencintai negeri sendiri, dan menyadari bahwa negara-bangsa (nation state) ada kenyataan organisasi politik zaman kiwari. Namun dirinya tetap bersikukuh bahwa komunitas Islam yang merujuk kepada identitas yang diorganisasikan oleh Muhammad Saw adalah tetap merupakan kewajiban yang pertama.

Moderasi Islam Dunia 
Dalam konteks global, posisi Indonesia memiliki daya tarik tersendiri terutama jika dipotret dari jumlah penduduk muslimnya yang terbesar di dunia. Dengan presentase muslim Indonesia sebanyak 207.176.162 (87.18%) maka jumlah tersebut merupakan 12,7 persen dari populasi dunia. Meski negara-negara muslim lainnya seperti Pakistan (178 juta), India (177 juta), Bangladaesh (149 juta), Mesir 80 juta), Nigeria (76 juta), Iran (76 juta), Turki 76 juta jiwa), Algeria (38 juta jiwa) dan Maroko (32 juta jiwa), maka nyaris tak diantara sembilan negara lainnya itu yang memiliki karakteristik kultur yang seragam Indonesia.

Namun pertanyaannya, apakah konsep moderasi lslam yang selama ini diyakini keampuhannya dalam merawat citra perdamaian di nusantara ini tidak pernah terdengar gaungnya di negara lain? Jawabannya adalah pernah.

Menurut catatan Risalah Bogor 2018, sedikitnya ada empat negara yang telah mengampanyekan gagasan moderasi Islam, seperti halnya di Indonesia. Negara-negara itu antara lain:

  1. Kairo, Mesir. Digagas oleh Universitas Al-Azhar As-Syarif, sebuah kampus yang dikenal sebagai pusat Pendidikan dan kebudayaan Islam tertua, dan memiliki pengaruh dalam keberagamaan umat Islam di banyak negara, yang berwarnakan sibghah (celupan) wasathiyah (moderat).

  2. Amman, Yordania, digagas oleh Pangeran Ghazi ibn Talal yang turut memprakarsai terbitnya Pesan Amman (Risalat Amman), sebagai kesepakatan ratusan ulama dan cendekiawan Muslim dunia yang beroreintasi moderasi. Yaitu gerakan yang didasarkan dengan pijakan (kalimatun sawa), mengajak segenap umat untuk menekankan persamaan dan bukan perbedaan.

  3. Saudi Arabia. Penggagasnya adalah Raja Abdullah bin Abdul Aziz yang mendirikan Pusat Dialog Internasional (King Abdullah International Centre for Interreligous an Intercultural Dialogue) yang berpusat di jantung Eropa, Wina Austria. KAICIID adalah salah satu gerakan dialog yang inklusif dan aktif membangun upaya saling memahami dan saling menghormati di dalam pemeluk agama dan budaya yang berbeda.

  4. Malaysia. Melalui Perdana Menteri Tun Abdul Razak di tahun 2017 turut serta mendirikan sebuah Gerakan Kaum Moderat Dunia (Global Movement of Moderate). Gerakan ini menampilkan citra Islam sebagai agama dengan prinsip wasathiyah.

Syahdan, pembahasan ringkas tentang pengertian moderasi, dan upaya penerjemahanya dalam ruang perdebatan ide negara dan kebangsaan, utamanya oleh wakil-wakil ormas Islam segalibnya tidak mengendurkan sedikit pun capaian yang telah diraih oleh republik ini.

Segala bentuk perayaan moderasi Islam baik yang bersifat agenda kenegaraan maupun ajang guyub yang terjalin alami di tengah masyarakat sejatinya dapat dicatat sebagai ruang pemenuhan atas semakin tak terkontrolnya pasar raya ide global, seperti terorisme dan radikalisme, yang beberapa hari belakangan ini masih menjadi kalender kelam di beberapa titik negeri ini.

Dayung moderasi sudah demikian jauh terkayuh, dan ombak-ombak deras-senyap semakin banyak yang terlampaui, semoga ujung laut yang biru dengan damai, serta desir ombak dengan lipatan harmoni dapat terus menerus terlewati. Wallahu ‘Alam , Semoga.

0 Response to "(Moderatisme Islam) Mendayung diantara Dua Ombak"

Posting Komentar