Menakar Kadar Kesetiaan pada Keluarga
Kamis, 06 Desember 2018
Edit
Keluarga adalah bengkel kehidupan. Di sana tempat membentuk, merawat, dan memperbaiki karakter manusia. Tiada tempat yang paling nyaman untuk menyehatkan jiwa kecuali keluarga.
Namun belakangan, bangunan indah bernama keluarga itu dirasa kian rapuh. Mudah goyah oleh goncangan-goncangan kecil sekalipun. Cobaan yang awalnya hanya kerikil jadi gunung. Yang awalnya api jadi kompor, dan akhirnya meleduk di meja pengadilan (cerai).
Ada obrolan ringan antara suami-isteri, yang mungkin bisa jadi pelajaran buat kita.
"Pah kita bersyukur ya, keluarga kita masih utuh", kata isteri sambil ngajak suaminya ngobrol santai di sebuah ruangan tamu rumahnya.
"Emang kenapa mah, kok tumben ngomongin keluarga utuh", jawab suami sekenanya.
"Iya itu, sekarang kan banyak suami isteri pada cerai. Malah banyak temen-temen mamah yang single mother", ujarnya.
"Oh ya ya. Mereka itu ditinggal mati suaminya atau divorce mah", tanya suaminya.
"Banyak juga sih yang divorce. Sebabnya macem-macem, ada karena suaminya poligami diam-diam, karena selingkuh dengan temen kerjanya, ada yang KDRT, ada pula karena alasan ekonomi. Ih amit-amit, jangan terjadi pada keluarga kita ya pah", terang sang isteri.
"Iya mah amiiin... keluarga itu kan ibarat bahtera (perahu). Nah, perahu itu akan bisa mengarungi lautan selama tidak ada yang membuatnya bocor, tidak ada gelombang atau badai besar yang menghunjamnya, dan semua bagiannya berfungsi baik", kata suaminya berfilosofi.
"Nah, sekarang papah mau tanya nih sama mamah, kalau misalnya papah sakit, apa mamah akan tetap setia?", tanyanya.
"Iya dong pah, kan kita sudah janji setia, sehidup semati. Meski papah misalnya sakit, misal lo pah, mamah akan tetap mendampingi dan merawat papah sampai kematian memisahkan kita", cetusnya.
"Tapiiii...". Tapi kenapa mah?
"Kalau mamah yang sakit, gak bisa lagi melayani papah, apakah papah juga tetap akan setia sama mamah", tanyanya dengan sedikit khawatir.
"Emmm... gimana ya mah". Saut sang suami.
"Gimana maksudnya pah?", kejar isterinya agak nyolot.
"Anu mah... aduuuh, ribet mau ngomong. Emmm, nganu mah... Mamah mau masuk sorga kan?".
"Lha emang siapa yang gak mau masuk sorga pah. Semua orang juga pasti mau. Emangnya kenapa?", selidik isteri mulai penasaran.
"Gini mah. Kalau mamah sakit, papah sehat, apalagi sangat sehat, kan mamah gak tega kan melihat papah galau, murung, emosi gak stabil?".
"Lho apa hubungannya nih", sahut istrinya mulai sewot.
"Maksdunya papah mau nikah lagi gitu. Mau poligami ya? Ugh, dasar laki-laki gak tahu diri. Susah sama gue, giliran sudah senang mau kawin lagi", serang isterinya tiba-tiba.
"Lho lho... kok mamah marah gitu? Papah kan belum jawab. Belum ambil sikap. Itu juga kalau mamah mbolehin sih, eh...", sahutnya.
"Gak! Pokoknya nggak! Dalam keadaan apapun mamah gak rela papah poligami. Gak rela!", tegas isteri dengan kesal.
"Eh denger, papah boleh nikah lagi asal calon isteri baru papah harus memenuhi 4 L", katanya.
"Wah, apa tuh mah. Ayo ayo sebut", desak suaminya nggak sabar.
"Dengerin baek-baek, pertama dia harus LEBIH cantik. Kedua, dia harus lebih LEBIH pinter. Ketiga, dia harus LEBIH baik akhlaknya dari mamah".
"Oke mah, siaaap. Insya Allah bisa", jawabnya girang.
"Eh eh... belum selesai, enak aja! Tadi kan mamah bilang 4 L. Itu tadi baru 3 L tau...", saut isteri emosi.
"L satu lagi apa mah?", tanya suaminya penasaran.
"L yang keempat. LANGKAHIN dulu mayat mamah. Sebel!",
"Apaaa? ...
Sambil ngeloyor ke dapur, sang isteri ngomel-ngomel tak henti dan tiba-tiba ada suara-suara piring pecah, gelas, dan perabotan jatuh.
"Hadeuuuhhh, dia yang mengawali, dia pula yang mengakhiri kayak gini. Hmmm, sabaaarr sabar...", gerutu suaminya.
Obrolan di atas adalah contoh sekuel kehidupan rumah tangga. Ada rasa cinta, rindu, sayang, benci, bosan, marah, dan sebagainya. Tiada rumah tangga yang segaris lurus, sepandang arah depan, sejernih air hujan, yang bebas dari konflik, meskipun kecil. Karena rumah tangga tersusun dari individu-individu yang berbeda, pikiran beda, perasaan beda, cara menyikapi sesuatu juga beda, dan segudang perbedaan yang "dipaksa" harus bertemu.
Nah, sekarang bagaimana kita bisa menakar kadar kesetiaan pada pasangan? Bukankah kesetiaan terkait erat dengan kadalaman cinta seseorang terhadap pasangannya yang tidak bisa diukur?
Pertanyaan yang tidak mudah dijawab atau disimpulkan. Setiap jawaban ada konteks yang menyertainya dan setiap kepala memiliki versi pandang yang berbeda-beda.
Kesetiaan itu letaknya di hati, di perasaan. Kesetiaan tidak bisa serta merta dilihat dari penampakan.
Ada pasangan yang sangat terbuka. Mungkin hampir setiap hari membincang, mendiskusikan soal poligami atau kemungkinannya terjadi pada mereka. Tapi hingga akhir hayatnya malah gak pernah terjadi, dan keluarganya tetap utuh.
Mereka menyadari bahwa tema itu hanya cocok untuk jadi bahan diskusi dengan segala argumentasinya. Hanya jadi tema-tema guyonan dalam membangun relasi romantisnya.
Akan tetapi ada keluarga yang sangat tertutup. Kata poligami menjadi "barang haram" dalam komunikasi verbal diantara suami dan isteri. Namun faktanya banyak suami-suami yang justru diam-diam merajut cinta di luar pengetahun isteri pertamanya (nikah sirri).
Istilahnya, tipe suami ini sedikit bicara banyak kerja. Menurutnya, poligami bukan tema diskusi yang menarik, tetapi ajaran yang perlu dibuktikan dan dinikmati sensasinya. What?
Iya. Kesetiaan memiliki aspek yang luas. Spektrum yang tidak berhenti pada janji, tetapi pada komitmen yang bersifat transenden.
Saat Nabi menjanjikan naungan di akhirat kelak bagi seseorang yang hatinya selalu terpaut dengan masjid (ibadah), maka bisa dianalogikan bahwa kebahagiaan sejati akan dapat diraih seorang suami (ayah) yang di dalam hatinya terpaut dengan nasib (kebahagiaan) keluarga.
Dan keterpautan hatinya itulah yang disebut kesetiaan, ikatan batin yang ingin selalu membahagiakan keluarganya. Hanya saja yang tahu kadarnya tentu bukan orang lain, tapi dirinya sendiri. Sudah tahukah kadar kesetiaan anda pada keluarga? Wallahu a'lam
Thobib Al-Asyhar
(Penulis buku, pemerhati masalah keluarga, dosen mata kuliah Psikologi Sufi di Sekolah Global dan Stratejik Universitas Indonesia)
Related Posts