Kontra Radikalisme Berbasis Pesantren




Thobib Al-Asyhar

Hari Ahad (30/7), Pesantren Futuhiyyah dan jejaring di lingkungan Yayasan Futuhiyyah Mraggen Demak, Semarang, mengadakan reuni akbar alumni lintas generasi. Dalam kesempatan tersebut juga dilaksanakan Halaqah Ulama dengan mengangkat tema Menolak Radikalisme dan Merawat Kebinnekaan.

Penulis hadir melaksanakan tugas peliputan untuk mencari perspektif pesantren dalam penanggulangan radikalisme atas nama agama. Penulis mencoba merekonstruksi puzzle-puzzle ingatan tentang dunia pesantren yang pernah menghuni selama 6 tahun pada 25 tahun lalu.

Tulisan ini mencoba menggali nilai-nilai yang tersirat dan tersurat tentang kearifan lokal (local wisdom) pesantren yang unik. Pesantren yang dalam sejarahnya dibangun atas prakarsa publik (masyarakat), dengan spirit membangun kesalehan agama telah menyiratkan optimisme agama sebagai "way of life". Agama di tangan pesantren pantas menjadi "shirat" (jalan besar), solusi tuntas, bukan hanya "sabil" (jalan kecil), yang bersifat sempit dan parsial. Apalagi di tengah ancaman paham dan gerakan radikalisme global yang sudah merambah di negeri tercinta.

Fakta menunjukkan bahwa dunia Islam kini hancur babak belur. Simbol-simbol kemajuan peradaban Islam masa lalu di Timur Tengah luluh lantak oleh perang dan ambisi kekuasaan tak bertepi. Mereka saling berperang, saling bunuh dan serang antar kelompok dan paham keagamaan.

Gerakan Islam radikal dan teror menjadi sorotan karena muncul dominan dengan kekejiannya. Sekian ribu, atau mungkin juta muslim mati di tangan muslim yang lain. Atau oleh tentara asing yang disebabkan oleh tangan saudara muslim sendiri. Berapa leher muslim terpenggal oleh sesama muslim gegara beda haluan politik dan paham keagamaan. Berapa banyak artefak yang hangus oleh bom. Jelas ini fenomena mengerikan. Rasulullah bilang, ini zaman fitnah, dan fitnah lebih kejam dari pembunuhan.

Paham, ideologi, dan simbol-simbol Islam formil diusung dan dinarasikan untuk alasan menegakkan negeri impian (Islamic State). Berbagai bentuk klaim kebenaran mereka lakukan. Akibatnya pun luar biasa. Selain memiliki tingkat ancaman yang tinggi, juga daya rusak yang luar biasa.

Citra Islam dipertaruhkan oleh tangan-tangan dingin mereka yang penuh amarah dan kebencian terhadap sesama. Nafsu-nafsu kekuasaan mereka bangun dengan klaim pemahaman literal terhadap teks-teks suci. Al-Qaeda, Boko Haram, JI, dan kelompok ekstrem mengerikan ISIS kini telah benar-bear menjadi ancaman Islam itu sendiri dan umat manusia pada umumnya.

Akibatnya, semua negara “gelisah” menghadapi radikalisme yang didasarkan pada paham agama. Khusus di Indonesia telah dilakukan berbagai upaya menangkal gerakan kaum Neo-Khawarij ini, baik melalui pendekatan represif maupun budaya. Semua pihak diminta untuk peduli dan bergerak menanggulangi ancaman kemanusiaan ini. Termasuk dunia pesantren.

Nah, setelah penulis mencoba telusuri kembali jejak-jejak kearifan pesantren saat reuni akbar alumni pesantren Futuhiyyah Mranggen, Demak, penulis memberikan catatan bagaimana pesantren bisa jadi basis penanggulangan (kontra) paham dan gerakan radikalisme di Indonesia.

Beberapa fakta kenapa pesantren tepat menjadi tameng (penangkal) paham radikalisme karena beberapa hal, diantaranya:

Pertama, dari sisi kurikulum yang diajarkan. Pesantren telah memiliki buku/kitab standar yang tidak memungkinkan membuka ruang santri untuk menjadi radikal dan pelaku teror. Kitab-kitab standar dalam bidang fikih, tafsir, hadits, ilmu alat, tata bahasa, tasawuf, dan lain-lain mudah dilacak. Sebagai contoh, saat belajar fikih Fathul Qarib, An-Nihayah, Fathul Muin, Muhadzdzab, Madzahibul Arba'ah, tidak ada sama sekali anjuran kyai tentang jihad fisik dalam arti bebas. Kalau toh belajar tentang konsep jihad, khilafah, ar-raiyyah (kepemimpinan), dan lain-lain tidak sedikitpun berfikir tentang pendirian negara Islam untuk mengganti Pancasila. Konsep jihad yang diajarkan berarti luas, tidak hanya memanggul senjata, kecuali dalam kondisi perang seperti era perjuangan kemerdekaan. Apalagi harus membunuh sesama muslim yang berbeda paham keagamaan. Sama sekali tidak terbetik dalam otak kami sebagai santri untuk menyakiti mereka.

Demikian juga pada kitab-kitab teologi terbebas dari konsep "takfir" kepada sesama muslim. Meski beda teologi seperti sunni-syiah sekalipun, dunia pesantren menjadikannya sebagai wacana sekaligus realitas sejarah Islam itu sendiri. Perbedaan dalam memahami teks dan konteks menjadi fenomena biasa di dunia pesantren, karena ada tradisi "Bahtsul Masail", yaitu forum adu pikir berbasis kitab kuning, meski kadang mentok pada urusan i'rab nahwiyah. Akan tetapi budaya itu telah membentuk watak santri menjadi lebih toleran dibandingkan dengan non pesantren.

Kedua, dilihat dari komunalisme santri. Budaya guyup, seringnya kerja bakti selama nyantri, kehidupan bersama selama di pondok, kehidupan sederhana dan sika qanaah (nrimo ing pandum) seperti diajarkan para kyai membentuk watak yang khas.

Kebersamaan, ikatan sosial yang dipadu oleh perasaan senasib sebagai kaum santri telah menebalkan rasa “saling memiliki” dan hidup yang harus membaur dengan masyarakat tidak membuka ruang munculnya eksklusifme sosial. Apalagi dibangun dari paham keagamaan yang terbuka. Dari sini terasa betapa pesantren membekali para alumninya memiliki respek sosial, terbuka atas berbagai ajaran dan keyakinan. Sikap dan perilaku toleran akan tumbuh dari budaya komunal pesantren yang sejak awal dibangun oleh para pendirinya.

Ketiga, struktur budaya kyai-santri menjadi faktor kunci tumbuhnya sikap keberagamaan yang menjunjung tinggi terhadap pemimpin dan menghargai santri sebagai “thalib” yang mencoba mencari berkahnya. Selama pesantren dipimpin oleh kyai yang memiliki basis ilmu dan sosial yang jelas, maka hampir mustahil akan melahirkan kader radikal yang bertentangan dengan tradisi pesantren.

Pada saat yang sama, budaya yang dibangun di kalangan santri adalah kesamaan tekad untuk “ngalap berkah” yang diwujudkan dalam bentuk-bentuk ketaatan dan terus dibawa dalam proses kehidupan selanjutnya. Bisa dilihat bagaimana tingkat ketaatan santri terhadap kyainya, cium tangan “bolak-balik” saat sowan atau bertemu, menundukkan kepala saat diajak berbincang, dan membela saat mereka menghadapi masalah.

Hubungan sosial kyai-santri telah membentuk watak yang saling peduli dengan spirit keberkahan tidak akan menggiring orang untuk berbuat nista dengan menyakiti sesama meskipun berbeda.

Keempat, pengajaran tradisi sufisme ala pesantren sangat mewarnai cara pandang dan perilaku keberagamaan masyarakat pesantren. Salah satu tokoh sufi yang dijadikan rujukan penting melalui kitabnya, Ihya Ulumid Diin, Imam Al-Ghazali, telah membentuk watak santri yang tawadhu, qanaah, ikhlas, dengan amalan wirid dan majahadah yang intensif telah menjadikan komunitas santri lebih bisa hidup humble, sederhana, dan tidak ingin beragama secara berlebihan.

Paradigma sufistik pesantren, lebih-lebih juga dipraktikkan sistem ajaran thariqah telah menguatkan komunitas ini menjadi lebih kebal atas berbagai rayuan ajaran agama yang menawarkan sorga dengan harga murah dan instan dengan modal nekad melalui “jihad” fisik.

Kelima, aspek kesejarahan pesantren juga sangat penting dalam konteks kecintaannya pada negeri. Para ulama dan santri sejak pra kemerdekaan, masa perjuangan, dan pasca kemerdekaan, telah menunjukkan perannya untuk membela negeri secara total.

Resolusi Jihad ala pesantren yang dilahirkan untuk membela NKRI sebagai salah satu bukti kecil keterlibatan pesantren dalam mencintai negerinya sebagai tempat lahir, berbakti, dan masa depannya. Berbeda dengan kelompok-kelompok Islam baru (transnasional) yang nampak semangat dan sensitif seakan-akan telah berbakti sejak dulu atas berdirinya NKRI.

Berdasarkan ulasan tersebut jelas sekali bahwa kalangan pesantren patut jadi model pendidikan sekaligus kontra radikalisme yang belakangan mewabah di kalangan anak-anak muda Indonesia. Dengan potret sejarah dan peran pesantren, maka wajar dan seharusnya pemerintah dan negara mendukung, memfasilitasi dan turut mengembangkan pesantren agar tetap berkiprah membangun negeri.

Jangan kucilkan pesantren, jangan sakiti komunitasnya, apalagi abai terhadap mereka. Wallahu a'lam.

Dr. Thobib Al-Asyhar, M.Si.
(Alumni Pesantren Futuhiyyah Mranggen Demak, Dosen Psikologi Islam Pascasarjana pada Sekolah Global dan Strategik, Universitas Indonesia)
Related Posts